Friday, August 24, 2012

Asal mula telaga Werabur (Teluk Wondama )


Menurut cerita, dahulu suku Wekaburi mendiami kali sekitar Wekaburi, penduduknya bermaksud mengadakan pesta adat di kampungnya. Untuk maksud tersebut sebelumnya mereka harus menyediakan bahan perlengkapan yang dibutuhkan, antara lain membangun rumah, menyediakan makanan dan lain sebagainya.


Hari penentuan pelaksanaan pesta telah tiba maka berdatanganlah masyarakat dari suku Kandami, Wettebosy, Sakarnawari dan Torambi yang mendiami daerah Azas untuk merayakan pesta yang dimaksud.



Para pengunjung dan undangan dipersilakan mengambil tempat dalam rumah adat yang telah dipersiapkan. Dari sekian banyak orang itu, turut hadir pula nenek tua bersama cucunya yang bernama ISOSI. Sang nenek membawa pula anjing kesayangannya ke pesta tersebut. Acara pesta sudah dimulai dan berjalan dengan meriah sekali. Sementara anjing sang nenek sedang tidur nyenyek di pinggir api yang disediakan untuk berdiang. Berhubung banyak orang yang menari-nari dan bersuka-sukaan, maka terinjaklah anjing kesayangannya. Anjing itu menjerit-jerit kesakitan.



Melihat peristiwa itu si nenek sangat marah, sebaba anjing kesayangannya terinjak oleh mereka. Dengan demikian ia membawa anjing itu ke dalam kamar lalu diikatkan cawat ke anjingnya. Setelah itu ia keluar sambil memeluk anjing itu serta menari-nari dalam pesta.Sang nenek tau bahwa perbuatannya itu adalah suatu pelanggaran. Karena menurut nenek moyangnya apabila penduduk berbuat demikian akan mendatangkan kilat,guntur dan hujan. Oleh sebab itu ia cepat-cepat mengambil puntung api lalu disembunyikan dalam seruas bambu,supaya tidak kelihatan oleh orang banyak. Setelah itu ia bergegas untuk keluar sambil memanggil cucunya supaya segera mengikutinya. Mereka mengikuti jalan tapak lalu mendaki gunung Ainumuwasa pada malam itu juga.



Di antara sekian banyak pemuda yang hadir dalam pesta itu ada seorang yang bernama ASYA. Sewaktu Asya melihat Isosi meninglkan ruangan maka iapun segera menyusul gadis idamannya. Ketika mereka berada di gunung Ainumuwasi, dilihatnyan keadaan cuaca alam sudah mulai memburuk. Tidak berapa lama disusul dengan kilat, guntur dan hujan di hulu kali Wekaburi yang makin lama makin hebat, sehingga terjadilah banjir dashyat.



Walaupun hujan lebat namun keadaan pesta semakin hangat dan meriah sehinggah terlupakan bahaya yang sedang mengancam. Banjirpun makin lama semakin tinggi akhirnya mencapai lantai rumah. Para pengunjung kelam kabut hendak mencari jalan untuk meluputkan diri dari bahaya tersebut. Tetapi terlambat karena banjir telah menghanyutkan rumah dan seluruh isinya ke muara.



Keesokan harinya si nenek, Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat kejadian yang telah terjadi semalam itu. Setibanya di sana mereka tidak melihat rumah adat itu lagi. Orang- orangnya telah mati dan menjelma menjadi katak dan buaya. Sekarang si nenek merasa puas dengan perbuatannya.



Untuk mengisi daerah kosong itu maka atas kebijaksaan si nenek, Isosi cucunya dikawinkan dengan Asya, setelah kawin mereka membangunun sebuah rumah yang besar dan panjang dan diberi nama ANIOBIAROI. Dari perkawinan Asya dan Isosi lahir banyak anak yang kemudian saling kawin sehinggah rumah itu makin lama penuh sesak. Oleh sebab itu atas kebijakan Asya disambung rumah aniobiroi itu dan diberi nama MANUPAPAMI.



Tahun berganti tahun dan rumah manupapami yang diperkirakan dapat menampung sekian banyak orang itu, pada akhirnya penuh sesak lagi. Melihat keadaan itu maka Asya mengambil kebijaksanaan lagi untuk menyambung rumah aniobiroi kemudian diberi nama YOBARI. Walaupun rumah itu sudah dua kali disambung, namun tetap tetap, tidak dapat menampung juga semua orang yang berada di Aniobiaroi, Manupapami maupun Yobari.



Oleh sebab itu untuk ketiga kalinya Asya menyambung lagi kemudian diberi nama SONESYARI dan KETARANA. Karena rumah itu sudah berkali-kali disambung menjadi Manupapami, Yobari, Sonesyari dan Ketarana, namun tidak tertampung juga semuanya. Akhirnya bersepakatlah mereka untuk memutuskan sebagian penghuninya keluar dari rumah- rumah tersebut, kemudian pergi mencari tempat tinggal baru guna membangun rumah bagi anggota-anggotanya.



Dengan demikian dari rumah Manupapami keluarlah orang-orangnya yang kemudian menjadi WETTEBOSY. Dari rumah Yobari keluarlah orang-orang yang kemudian menjadi suku WEKABURI. Sedangkan dari rumah Sonesyari dan Keterana menjadi suku TOREMBI. Tempat baru yang didiaminya diberi nama “WERABUR” yang artinya kampung yang terletak di atas air. Jadi kata WER adalah asal dari nama NEMBIWER yang berarti air sehinggah orang-oramg Nambi memberi nama WERABUR.



Sumber : Tabloid Jubi

aYo gaBung :)

Mau uang tambahan?? Komisi 50ribu-250ribu sehari, bisa dikerjakan via Facebook! Dipandu sampai bisa! Selengkapnya kunjungi:
http://KomisiVirtual.com/?id=reynske 

Thursday, August 23, 2012

Batu Keramat (YapeN TimuR)


Di daerah Yapen Timur, tempatnya di daerah Wawuti Revui terdapat sebuah gunung bernama Kemboi Rama. Masyarakat berkumpul dan berpesta di gunung itu. Di gunung itu juga tinggal seorang raja tanah atau Dewa bernama Iriwo Nowai. Dewa itu memiliki sebuah tifa  yang diberi nama Sokirei
Atau Soworai, jika tifa itu berbunyi orang-orang akan berdatangan dan berkumpul karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat Gendang itu. Akan tetapi, yang dapat melihat Gendang itu hanya orang-orang Tud bekekuatan Gaib.
Dewa Irowonawi mempunyai sebuah dusun yang banyak ditumbuhi tanaman Sagu, Yaitu Aroempi. Sagu merupakan makanan pokok daerah Wawutu Revui. Akan tetapi sagu itu, lama kelamaan berkuran. Dewa marah, kemudian tanaman Sagu itu dipindah ke daerah pantai disana mereka mendirikan daerah baru yang diberi nama Randuayaivi, setelah itu Kamboi Rama hanya tingal Iriwonawai dan sepasang Suami Istri bernama irimiami dan Isoray.
Pada suatu pagi, Isoray duduk diatas batu untuk menjemer diri, beberapa saat kemudian, batu yang didudukinya mengeluarkan Awan gumpalan (Awan Panas) sehingga dia tidak tahan duduk di batu itu. Kemudian Irimiami menduduki batu itu ternyata apa yang di rasakan Irimiami sama dengan yang dirasakan Isoroy. Setelah itu, Irimiami mengambil daging rusa dan diletakan diatas batu itu, tidak lama kemudian, daging rusa itu di angkat dan di makan ternyata daging Rusa itu terasa enak. Sejak itu, irimiami dan Isoray selalu meletakan makanan diatas batu itu.
Pada suatu hari, Irimiami dan Isoray menggosok buluh bambu di batu itu, tidak lama kemudian buluh bambu putus dan gosokan buluh bambu mengeluarkan percikan api. Irimiami dan Isoray heran, kemusian mereka mulai mengadakan percobaan diatas batu itu.
Keesokan harinya, mereka mengumpulkan rumput dan daun kering, rumput dan daun kering itu diletakan diatas batu itu tidak lama kemudian, rumput dan daun kering itu mengeluarkan gumpalan Awan seperti mereka pernah lihat. Irimiami dan Isoray menamakan batu iru keramat mereka mulai memuja batu itu.
Pada siang hari ketika Matahari memancarkan sinarnya, Irimiami dan Isoray mencoba meletakan ruput, daun dan ranting bambu diatas batu keramat itu mereka menunggu apa yang terjadi ternyata keluarlah awan merah yang sangat panas mereka ketakutan dan memohon kepada Dewa Iriwonawai agar memadamkan awan merah itu, permohonan mereka terkabul dan awan merah itu padam.
Hari berikutnya mereka mengumpulkan rumput, daun, dan kayu lebuh banyak. Benda-benda itu mereka letakan diatas batu keramat asap tebal mengepul di puncak gunung Kambol Rama selama enam hari Gedang pun berbunyi, masyarakat berkumpul ingin menyaksikan Gendang Soworai.
Irimiami dan Isorai menyambut baik kedatangan penduduk kampung Randuayaivui, mereka pun menceritakan peristiwa itu dan asal mula di temukan batu keramat. Penduduk tercengung mendengar cerita mereka, apabila mereka mencicipi makanan yang dipanaskan diatas batu keramat, oleh karena itu Irimiami dan isoray ingin ingin supaya diadakan paeta adapt.
Keesokan harinya, pesta adapt dimulai penduduk kampung Randiayaivibekumpul membawa pebekalan seperti, Sagu, Keladi, Daging dan makanan lainnya mereka bekumpul mengelilingi batu keramat, sambil meletakan rumput diatas batu itu, tidak lama kemudian keadaan sekitar gunung Kambi Rama menjadi sangat cerah dengar sinar api yang keluar dari batu keramat.
Pesta adat berlangsung selama 3 hari 3 malam, dalam pesta itu Irimiami dan Isoray memperhatikan peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami, kemudian Irimiami dan Isoray memerintahkan masyarakat yang hadir di pesta itu untuk mengelilingi batu keramat sambil menari dan memuja batu itu
Inilah legenda masyarakat Irian Jaya yang sampai sekaran mengerematkan batu api penemuan Irimiami dan Isoray. Mereka juga percaya bahwa Irimiami dan Isoray adalah orang pertama menemukan api, sekali di lakukan upacara pemuja terhadap batu keramat itu.

Thursday, August 16, 2012

Asal mula Pulau MAMBOR

Pulau Mambor tarmasuk salah satu pulau dari beberapa gugusan pulau di sebelah timur kota Nabire di Kabupaten Paniai. Di pulau ini terletak salah satu pegunungan dan salah satu puncaknya yang tertinggi adalah gunung Momurkotei.
Dahulu di gunung tersebut berdiamlah sepasang suami istri, berasal dari keturunan Mambri. Suami istri tersebut masing-masing bernama Mumu dan Waisei. Keduanya hidup rukun dan damai serta dikaruniai dua anak laki-laki. Wonggora adalah nama kakaknya sedangkan adiknya bernama Nonambo.

Keduanya diasuh hingga dewasa lalu dikawinkan. Dari perkawinan mereka lahirlah cucu-cucu Mumu dan Waisei.
Wonggora memperoleh seorang anak yang dinamai Tarahijori. Adiknya Nonambo memperoleh dua orang anak, yaitu seorang anak laki-laki yang bernama Dauma dan adiknya seorang anak perempuan. Mereka diasuh dan tumbuh menjadi dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bermain dan bergaul seperti biasa, namun akhirnya Dauma dan Tarahijori memadu cinta. Hubungan antara keduanya semakin mendalam sehingga saling mengikat satu janji untuk sehidup semati. Keinginan mereka ini disampaikan kepada orang tua masing-masing.

Pada suatu hari Dauma bersama ayahnya berkunjung ke rumah Wonggora. Maksud kedatangannya hendak meminang Tarahijori agar dijodohkan dengan Dauma. Namun apa daya karena pinangannya ditolak oleh Wonggora. Bagi Dauna hal ini adalah suatu pukulan yang tidak habis dipikirkan olehnya. Sebab itu dari pada tidak memiliki kekasih lebih baik bunuh diri. Ia mencari akal bagimana cara membunuh kekasihnya dengan cara yang tidak mencurigakan. Oleh sebab itu ia mempelajari kebiasaan-kebiasaan Tarahijori yang setiap hari pergi membuang air besar di bawah pohon. Di tempat inilah Dauma melaksanakan niatnya dengan memasang sembilu di akar-akar pohon untuk mencelakakan kekasihnya.

Pada hari berikutnya Tarahijori hendak pergi membuang air besar seperti biasanya dilakukan. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara jeritan di bawah pohon besar meminta pertolongan. Ternyata sembilu yang dipasang oleh Dauma kena kekasihnya dan banyak mengeluarkan darah.

Akibat sembilu yang dipasang maka meninggallah Tarahijori seketika itu juga. Kematian Tarahijori meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga Wonggora.

Akibat musibah ini, Wonggora menyatakan perang saudara terhadap adiknya, sebab musibah ini dilakukan oleh Dauma, karena lamarannya ditolak.
Nonambo pun menanyakan hal itu kepada anaknya dan ternyata Dauma mengakui perbuatannya. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap perbuatan anaknya, maka tantangan Wonggora diterima.

Oleh sebab itu masing- masing mencari pengikutnya, lalu pecahlah perang sengit antar keluarga pihak Wonggora dengan Nonambo. Sementara perkelahian sedang berlangsung, tiba-tiba ada serangan masuk dari kampung lain di kampungnya. Akhirnya demi keselamatan dan kesatuan penduduknya, kedua bersaudara itu bersatu kembali untuk melawan musuh. Setelah mengusir lawannya, maka perang antara keduanya pun berhenti dengan sendirinya.

Untuk memulihkan persaudaraannya kembali, mereka bermaksud mengadakan pesta perdamaiaan. Berita pesta perdamaiaan itu tersiar keseluruh pelosok kampung di pulau itu. Terutama para pemudanya sangat tertarik lalu berdatangan hendak menyaksikan perayaan pesta tersebut. Saat pesta dilangsungkan, hadir pula seorang pemuda tampan yang membawa tifa di tangannya.

Pemuda tadi benar-benar terpesona oleh pandangan seorang gadis yang ikut melayani para tamu dengan makanan dan minuman. Gadis tersebut adalah anak dari Nonamba, dari pandang memandang akhirnya mereka berkenalan.

Mambarua, demikian nama pemuda itu putra raja kerajaan dasar laut. Ia menjelaskan bahwa sebelum naik takhta menggantingkan orang tuanya diharuskan mempersunting seorang gadis sebagai calon istrinya.
"Apakah anda tidak akan kecewa, bila mendapat gadis kampung seperti aku ini? Bukankah banyak wanita cantik di kalangan bangsawan?" tanya gadis itu.
"Betul adinda, tapi diantara mereka tidak ada seorang pun yang menarik perhatianku," kata Mambarua.
Akhirnya gadis itu yakin terhadap Mambarua, lalu berpesan agar segera meminang melalui orang tuanya.

Malam berikutnya Mambarua berkunjung ke rumah orang tua gadis itu. Maksud kedatangannya hendak meminang anak gadis Nonambo. Setelah menungkapkan asal-usul dan keinginan hatinya, maka orang tua si gadis merestui kehendak kedua remaja itu. Namun Nonamba mengajukan suatu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mengadakan upacara pernikahan, yaitu pembayaran mas kawin berupa:
- sebuah dusun sagu
- sebuah jembatan penghubung pulau dan daratan
- serumpun bambu
- sebuah tifa dan
- sebuah gelang paseda

Mambarau berjanji bahwa mas kawi tersebut akan di penuhi setelah perkawinan mereka.
Untuk mengukuhkan kedua remaja yang baru berkenalan sebagai suami istri yang sah, maka dilakukan lah upacara pernikahan secara adat,. Pernikahan ini dimeriahkan oleh penduduk semalam suntuk.

Keesokan harinya Mambarua meminta diri mendahului rombongan yang akan mengantar istrinya, untuk mempersiapkan upacara penyambutan dan pelantikan di istana. Sebelum pergi ia berpesan pada istrinya supaya segera menyusul dan menunggu dipantai. Bila istrinya melihat tiga buah gelombang besar, itulah tanda bahwa Mambarua sudah siap menjemput rombongan.
Benar juga, ketika rombongan istrinya dengan ketiga perahu menunggu di pantai, terlihatlah tiga buah gelombang besar yang beriringan ke pantai. Permaisuri bersama orang tuanya berada di perahu depan. Ketiga gelombang itu sampai di tempat perahu- perahu tersebut, maka terjadilah keajaiban dimana perahu-perahunya langsung terbawa ke dasar lautan.
Rasanya seakan- akan mereka tidak memasuki lautan, tetapi memasuki sebuah wilayah yang luas dan menyenangkan. Mereka di sambut oleh sepasukan pengawal istana yang berderet di sebelah kiri-kanan jalan masuk.

Setiba di istana, Mambarua menyambut calon istrinya lalu membawa masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan berdandan. Sedangkan rombongan diterima oleh para pelayan di ruang upacara.

Saat yang dinantikan oleh para tamu sudah tepat dan sang raja memasuki ruang upacara. Upacara segera dimulai dengan acara pertama perkenalan permaisuri beserta rombongannya kepada para tamu. Berikutnya adalah upacara penobatan Mambarua sebagai raja yang dilaksanakan dengan penuh hikmat. Upacara perkenalan dan penobatan raja muda diakhiri dengan makan bersama di istana. Setelah tiga hari para pengantar permaisuri diperkenankan meninggalkan istana sedangkan permaisuri tetap tinggal di kerajaan lautan.

Pada suatu hari Mambarua memberitahukan niatnya pada sang istri, bahwa ia hendak membayar mas kawi pada orang tuanya di kampung. Sesudah sepakat berangkatlah keduanya bersama beberapa prajurit dan setiba di kampung raja muda menyerahkan mas kawin berupa :
- Sebuah tifa kebesaran yang disebut BIRINEBISEI
- Empat buah mata air yang masing- masing bernama SERU, BATAIBORO, KAKURU, dan BABINGGATU.
- Sebuah jembatan yang bernama BABISIR
- Serumpun bambu yang bernama WAHAMU, dan
- Sebuah gelang poseda.

Hari berikutnya raja muda bersama istrinya meninggalkan kampung mertuanya lalu kembali ke dasar laut. Sedangkan penduduk kampung yang ditinggalkan berpestapora sehubungan dengan penerimaan mas kawin yang baru saja diselesaikan. Namun di tengah-tengah puncak keramaian pesta itu, tiba- tiba ada musuh yang menyerang. Akibat penyerangan itu banyak penduduk yang melarikan diri jauh dari kampung.

Pada saat bersamaan Mambarua merasa gelisah. Rasanya ada sesuatu firasat jelek. Firasat tersebut menimbulkan rasa curiganya dan ingin tahu akan keadaan di daratan.

Oleh sebab itu Mambarua bermaksud melihat-lihat keadaan di kampung mertuanya. Istrinya menyetujui keinginan suaminya serta berpesan agar berhati-hati dalam perjalanan.

Saat itu juga Mambarua berangkat dengan para pengawalnya dan setibanya di sana ternyata firasatnya benar sebab ada laporan dari penduduk, bahwa baru saja ada perampokan di kampungnya dan musuh telah melarikan diri ke arah barat.

Setelah memperoleh petunjuk, sang raja perintahkan para prajuritnya melakukan pengejaran dan ternyata mereka berhasil menguasai musuhnya serta membawa kembali barang-barang yang dirampas tadi. Namun masih ada satu benda yang paling berharga, yang tidak dapat di bawa olehnya, yaitu tifa kebesaran karena sempat di bawa kabur oleh musuhnya.

Karena RAO yang menyerang kampung mertuanya maka pulau yang digunakan untuk beristirahat, di balik oleh raja muda itu dengan gelombang dashyat. Akibatnya hingga kita tempat itu tidak ditumbuhi apa-apa hanya berkarang dan disebut : ROF KAREY.

Dari pertempuran ini sebagian dari pihak Rao dapat menyelamatkan diri ke daerah Wandamen dengan membawa tifa kebesaran, sedangkan pulau yang di mana mertua Mambarua bertempat tinggal dinamakan pulau MAMBOR.
Sumber : Tabloid Jubi

Sunday, August 12, 2012

Asal Mula Danau Sentani

Terkisah seorang bernama Haboi, penduduk kampung di atas bukit dekat Dondai yang disebut Yomoko. Kampung ini dipimpin oleh Ondofolo Wally. Suatu ketika langit menjadi semakin kelam diliputi kegelapan di siang hari. Menghadapi situasi ini, Orang-orang Yomoko berunding dan bersepakat mendorong langit ke atas dan bumi tetap di tempatnya, supaya ada cahaya terang di bumi. Pada saat itu, Haboi memperhatikan dengan teliti bahwa orang-orang di Kampung Yamoko tidak mempunyai air dan api untuk dapat hidup layak sebagai manusia. Karena itu, Haboi dan Ondofolo Wally mengambil sebuah gelang kristal yang disebut ‘eba’ dan tiga butir manik-manik yang disebut hawa, hay dan naro. Kedua orang ini bertekad menghadap Dobonai, penguasa hak atas air yang berdiam di Puncak Gunung Dobonsolo.

Suatu pagi yang cerah, Haboi berjalan menuruni Bukit Yomoko memasuki hutan dataran rendah ke utara kemudian mendaki, menyusuri jalan setapak dalam rimba Pegunungan Cycloops diikuti dari belakang oleh Ondofolo Wally. Tanpa diketahui oleh keduanya, Di Puncak Gunung Dobonsolo, seekor Burung Emien milik Dobonai menginformasikan kedatangan mereka kepada penguasa air itu. Burung itu kemudian ditugaskan oleh Dobonai untuk menjemput Haboi dan Ondofolo Wally. Kedua orang ini berniat membeli air di Dobonai. Setelah berbincang-bincang menyampaikan kehendak yang terkandung dalam pikiran mereka, Dobonai menyetujuinya dengan syarat harus melakukan pembayaran melalui dua orang petugasnya sebelum mengambil air. Kedua orang yang ditunjuk Dobonai bernama Dukumbuluh dan Roboniwai. Haboi dan Ondofolo Wally pergi menghadap dua orang itu, namun mereka melakukan kekeliruan ketika menyerahkan alat pembayaran yang mereka bawa. Gelang eba yang bernilai paling mahal diserahkan kepada Roboniwai dan manik-manik yang bernilai murah diberikan kepada Dukumbuluh. 

Dalam struktur fungsi kekuasaan para penguasa air di Gunung Dobonsolo, Dukumbuluh memiliki posisi atas/tua, sedangkan Roboniwai memiliki kewenangan di bawahnya karena usia yang masih muda. Akibat dari kekeliruan Haboi dan Ondofolo Wally, Dukumbuluh menjadi berang sehingga mengakibatkan guruh dan halilintar disertai hujan badai yang sangat deras.
Setelah kondisi itu diatasi, maka keempat orang tersebut pergi menghadap Dobonai. Haboi dan Ondofolo Wally membawa ember kecil yang terbuat dari daun-daun (habu). Mula-mula Dobonai membawa mereka ke suatu tempat di alam terbuka yang berisi air yang sangat keruh. Haboi dan Ondofolo Wally tidak bersedian menerima air keruh. Oleh karena itu, Dobonai mengantar mereka ke tempat lain yang biasa digunakan sebagai tempat pemandian. Mereka tetap menolak air dari kolam tempat mandi Dobonai yang dianggap masih tergolong air kotor. Akhirnya Dobonai membuka tempat sumber air minum yang jernih. Kebetulan ada seekor ikan yang disebut Ikan Yowi di dalam air bening itu. Mereka mengisi ember daun-daun itu dengan air dan ikan tersebut. Dobonai menutup ember agar air tidak tumpah sambil berpesan agar selama dalam perjalanan pulang, tidak boleh berburu. Semua perlengkapan berburu diikat erat-erat agar tidak dapat digunakan.

Dalam perjalanan pulang, Haboi dan Ondofolo Wally melihat seekor babi hutan yang sangat besar. Mereka tergoda dan menurunkan ember kecil berisi air, meletakkan di atas tanah kemudian mencoba membuka peralatan berburu dari ikatannya untuk memanah babi namun tak disadari ember pecah, air di dalamnya tumpah menjadi air bah yang menghanyutkan keduanya dari tengah Gunung Dobonsolo. Haboi dan Ondofolo Wally menghentikan derasnya air bah dengan membenamkan ujung sebilah pisau belati yang terbuat dari tulang hewan ke tanah. Air masuk ke arah tikaman pisau belati kemudian keluar lagi dan memenuhi seluruh dataran rendah, bekas air bah itu membentuk sebuah danau besar di hadapan mereka. Air danau menghalangi perjalanan pulang Haboi dan Ondofolo Wally ke Yomoko, karena itu mereka menebang sebatang pohon yang dibentuk menjadi sebuah perahu dan dayung yang mengantar keduanya pulang kembali ke Kampung Bukit Yomoko.

Setiba di Yomoko, mereka melihat air danau tersebut ternyata sangat keruh. Haboi memerintahkan anak sulung Ondofolo Wally untuk menyelam ke dalam air kabur, namun anak itu terbenam ke dalam air bercampur dengan lumut dan lumpur tanah. Jazad anak itu hanyut ke Kampung Yakonde di barat, berputar kembali sampai ke Kampung Puai dan Sungai Jaifuri, bahkan menurut cerita ini sampai ke Sungai Skamto dan Tami di timur kemudian kembali memasuki danau di sekitar Kampung Puai. Haboi dan keluarga Ondofolo Wally mencari jenazah anak itu hingga menemukannya sedang terapung di permukaan air danau dekat Puai. Haboi meminta istri Ondofolo Wally mendekati jazad anaknya, namun ia juga tenggelam dan meninggal dunia bersama puteranya itu. Akhirnya, Haboi dan Ondofolo Wally pulang ke Yamoko tanpa membawa pulang jazad dua orang yang dikasihi. 




Sumber : Cerita Rakyat Papua Dari Jayapura (Yang Terhempas Dalam Goncangan Peradaban). Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Penerbit Arika, 2009